“ditepian kota itu (p)enak”

1 February 2017

Asal Mula Tapak Tuan Ibukota Aceh Selatan

Tapaktuan, Kecamatan paling sibuk di Kota yang terkenal dengan Buah Palanya yang juga merupakan Ibukota dari Aceh Selatan. Kabupaten Aceh Selatan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia sehingga menyebabkan iklim yang cukup panas. Kabupaten Aceh Selatan seperti terjepit karena diapit oleh Pegunungan Bukit Barisan dan Samudra Hindia.
Itulah prolog untuk kembali menceritakan Kota "Seribu Pala". Setahun sempat tinggal di Kota yang kurang lebih berjarak 412 kilometer dari pusat Provinsi Aceh tentunya banyak cerita yang didapat. Pada kesempatan kali ini, saya akan menyajikan coretan tentang asal mula atau legenda dari kota Tapaktuan. Jika berkesempatan ke Aceh Selatan, jangan lupa untuk mengunjungi salah satu objek wisata di Kota Tapaktuan. Obyek wisata tersebut adalah batu karang yang menyerupai bekas tapak kaki dan tempat itulah sampai sekarang diyakini sebagai cerita asal mula kota Tapaktuan.
Baiklah, dengan cerita yang didengar dari buah bibir tetangga semasa di Aceh Selatan dan melengkapi cerita melalui artikel di laman internet darulhasanahaceh.com rampunglah artikel asal usul Kota Tapaktuan di blog saya ini. Mari disimak...
Pada zaman dahulu hiduplah seorang pemuda berbadan tinggi bernama Teuku Tuan. Beliau hidup menyendiri di sebuah lereng gunung, setiap hari beliau selalu berzikir dan tidak pernah lupa menyebutkan nama Allah di dalam gua. Karena kebiasaan bertapa di dalam goa, maka Teuku Tuan itu disebut Tuan Tapa.
Suatu hari datanglah dua ekor Naga dari Negeri Cina yang bertemu dengan Tuan Tapa. Naga terebut adalah Naga Jantan dan Naga Betina. Sepasang Naga tersebut diusir sebuah Negeri Cina karena tidak mempunyai anak. Di Negeri Cina beranggapan bahwa Sepasang Naga yang tidak mempunyai anak adalah pembawa sial dan tidak patut tinggal disana. Bila nanti sepasang Naga telah mempunyai anak, barulah sepasang Naga tersebut diizinkan kembali ke sana. Setelah terjadi kesepatan antara Tuan Tapa dan sepasang Naga tersebut, akhirnya sepasang Naga diijinkan tinggal sementara di suatu tempat gunung di sana.
Jejak yang diyakini sebagai bekas Tapak Tuan Tapa (sudah diperbaiki dengan semen)
Suatu hari ketika sepasang Naga tersebut sedang berjalan-jalan di laut Aceh Selatan dari tengah lautan mereka mendengar suara tangis bayi. Suara tangis itu semakin lama semakin keras dan jelas. Begitu sampai di tengah laut, kedua Naga itu sangat terkejut. Mereka melihat seorang bayi perempuan sedang terapung-apung di dalam sebuah ayunan yang terbuat dari anyaman rotan. Diambilah bayi tersebut dan hendak dibawa ke tempat tinggal sepasang Naga tersebut. Begitu mereka tiba di tempat peristirahatannya, ternyata Tuan Tapa sudah berdiri di depan pintu gua. Tuan Tapa kemudian memberikan pesan kepada sepasang Naga untuk menjaga anak perempuan tersebut dengan sebaik-baiknya.
Seiiring waktu, bayi perempuan itu tumbuh dewasa menjadi seorang gadis, diberilah nama Putri Naga oleh sepasang Naga yang telah merawatnya. Namun Putri Naga tersebut menyimpan pertanyaan besar, “Siapakah orangtua saya sebenarnya?”. Pertanyaan itu tak membuahkan hasil ketika bertanya dengan sepasang Naga, maupun bertanya dengan hewan-hewan lain yang melindunginya. Suatu saat pertanyaan tersebut didapatlah jawaban bahwa suruh menanyakan Tuan Tapa yang sedang bertapa di dalam suatu goa. Alhasil Putri tersebut pergi ke tempat Tuan Tapa. Sesampainya, Tuan Tapa memberi jawaban “Kamu adalah anak seorang  Raja. Ketika kamu masih bayi, kamu hanyut di tengah lautan. Saat kamu terapung-apung di lautan kedua Naga itu datang menyelamatkanmu dan menganggapmu sebagai anaknya. Tidak lama lagi orangtuamu akan datang menjemputmu”. Kemudian sang Putri meninggalkan tempat Tuan Tapa.
Selang beberapa hari kemudian datanglah orangtua asli Putri tersebut. Orangtua Putri kemudian bertemu dengan Tuan Tapa dan meminta izin untuk mengambil kembali anak mereka. Tuan Tapa menyuruh agar meminta izin kepada sepasang Naga, karena kedua Naga itulah yang menyelamatkan dan merawat Putri tersebut sampai dewasa. Orangtua kandung Putri itu pun meminta izin kepada kedua Naga itu, namun sepasang Naga itu menolak. Mengetahui hal itu Tuan Tapa pun ikut campur tangan untuk membantu orangtua asli Putri tersebut.
Jalanan menuju obyek wisata Tapak Tuan Tapa yang berada di bibir lautan
Sepasang Naga pun tetap bersikukuh menolak dan berencana membawa Putri itu bersama mereka menuju ke Negeri Cina. Namun Tuan Tapa tidak membiarkan hal itu terjadi sehingga terjadilah perkelahian. Bukti perkelahian sepasang Naga dan Tuan Tapa di yakini warga sekitar masih bisa dilihat di beberapa tempat. Bekas telapak kaki Tuan Tapa masih bisa kita jumpai di bibir samudra hindia yang kini dijadikan sebagai obyek wisata. Kemudian bekas darah dari tubuh Naga yang hancur dan tumpah ke mana-mana masih dapat dilihat di pantai Desa Batu Hitam dan Batu Merah, sekitar 3 km dari kota Tapaktuan dalam bentuk batu.  Ada lagi tongkat dan topi Tuan Tapa yang sempat tercampak ke laut sampai sekarang diyakini masih terlihat dan telah menjadi batu yang terdapat di kawasan pantai Tapaktuan. Kemudian perkelahian tersebut akibat dari Naga betina yang mengamuk hendak melarikan diri ke Negeri Cina, Naga tersebut membelah sebuah pulau di kawasan Bakongan hingga menjadi dua bagian, pulau itu terkenal bernama Pulau Dua. Bahkan Naga itu mengamuk memporak porandakan sebuah pulau. Pulau itu terpecah-pecah, hingga kini disebut Pulau banyak yang terdapat di Kabupaten Aceh Singkil.
Pekelahian tersebut dimenangkan oleh Tuan Tapa dan Putri pun kembali ke dekapan orangtuanya. Sejak kejadian itu Tuan Tapa jatuh sakit. Dan selang beberapa hari kemudian beliau meninggal dunia. Jasadnya dikuburkan di kota Tapaktuan juga. Dari kejadian itulah ibu kota Aceh Selatan diberi nama Tapaktuan, artinya telapak kaki Tuan Tapa.
Sebuah pesan dari pengelola wisata yang mengingatkan pengunjung
Oya..jika sedang mengunjungi wisata Tapak Tuan Tapa harus melihat kondisi gelombang lautan. Jika gelombang sedang tinggi jangan paksakan untuk mendatangi Tapak tersebut karena tempatnya persis di bibir lautan danlang akses jalan yang dilewati pun merayap di dinding bebatuan karang. Ada satu lagi pesan yang perlu diperhatikan, keyakinan dari warga penduduk setempat, "Jangan terlalu ria, buang jauh-jauh rasa sombong di dalam diri".

Copyright © #ndesolicious | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com