“ditepian kota itu (p)enak”

9 November 2016

Kudapati "Sesuatu" di SD Alue Keujrun Sara Baru

Sara Baru, salah satu tempat yang berkesan setelah Gampong Lhokaman selama pengabdian di Kabupaten Aceh Selatan. Sara Baru adalah nama sebuah Dusun di Gampong (Desa) Alue Keujrun Kecamatan Kluet Tengah Manggamat Kabupaten Aceh Selatan. Gampong yang tidak terjangkau sinyal seluler, karena memang daerahnya berada jauh dari tower-tower BTS (Base Transmission Station). Meski hanya beberapa jam ditempat itu tanpa signal seluler, namun kenyamanan begitu terasakan.
Groufie bersama teman-teman SM3T dan Murid SD Alue Keujrun Sara Baru
Tepatnya ditanggal 30 Mei 2016, saya bersama teman-teman, yang juga keluarga seperantauan di Kabupaten Aceh Selatan, tergabung dalam SM3T Universitas Negeri Malang Angkatan V mengadakan program kegiatan "Berbagi Donasi" untuk murid-murid yang berada di SD Alue Keujrun. Sekolah yang hanya satu-satunya berada di Sara Baru, sehingga jika anak-anak sudah lulus SD mereka harus merantau dari Sara Baru untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Sekolah yang letaknya kurang lebih ditempuh dua jam dengan menyusuri sungai ke arah hulu dengan menggunakan stempel (sebutan perahu bagi warga sekitar). Stempel adalah satu-satunya alat transportasi  yang dapat digunakan untuk menuju ke Sara Baru. Transportasi air tersebut maksimal hanya bisa diisi dengan 9 orang penumpang, itupun sudah termasuk dengan pengemudinya. Pengalaman yang tak terlupakan bisa sampai ke tempat itu dengan menggunakan stempel yang sewaktu-waktu bisa terbalik jika penumpang banyak gerak atau pengemudinya salah memilih jalur aliran air yang mengalir.
Perjalanan menggunakan stempel menyusuri sungai Lawe Melang
Sang istri selalu setia menemani Pak Ali Hanafiah 
Berangkat pagi membersamai Pak Ali Hanafiah yang juga sebagai Kepala Sekolah SD Alue Keujrun bersama sang istri menjalani aktivitasnya menyusuri sungai Lawe Melang. Bagi warga sekitar Lawe Melang memiliki arti Air Besar karena rata-rata memiliki lebar sungai 15-20 meter. Kurang lebih 2 jam diatas stempel kami telah sampai di dermaga Sara Baru, meskipun tak nampak dermaga pada umumnya.
Dermaga yang tak nampak dermaga seperti pada umumnya
Dengan beberapa barang donasi yang dibawa dari kota, kami mulai melangkah meninggalkan dermaga. Tak terlalu jauh dari dermaga kami sampai di lokasi sekolah SD Alue Keujrun. Dua bangunan berdiri berdampingan kontras terlihat, disebelah kanan bangunan berdinding kayu dan berlaskan tanah, sedangkan disebelah kiri bangunan berdinding semen kokoh berdiri. Kalau dilihat dari bangunannya, dulunya di SD tersebut hanya terdapat 3 lokal (ruang kelas), bangunan kokoh disampingnya itu baru berdiri beberapa tahun terakhir.
Halaman depan ruang kelas yang berdebu tak menyurutkan siang itu
Kami mulai bermain dibawah bendera yang sama "Indonesia"
Bernyanyi dengan khidmat "Indonesia Raya" diawal kegiatan, mempertebal rasa nasionalisme pada jiwa anak-anak terlebih pada diri kami sendiri. Dibawah teriknya panas matahari tak menyurutkan semangat anak-anak Sara Baru untuk mengikuti kegiatan. Kami bermain, berbagi cerita dan motivasi kepada anak-anak penuh semangat itu. Tak banyak jumlah mereka, dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 mungkin tak genap 40 orang. Didalam ruangan kami lebih banyak mengajak anak-anak Sara Baru berkomunikasi. Bertukar cerita dan mengedukasi bagaimana menjaga kelestarian hidup di sekelilingnya. Juga mencari tau seperti apa ikan kerling yang konon katanya ikan air tawar yang paling mahal dan enak yang hanya dapat ditemui di sekitar sungai Menggamat.
Dan kami mulai bermain bersama
Pak Ali Hanafiah yang tak sungkan ikut serta muridnya bermain "ular naga"
Pak Ali yang telah mengabdi di Sara Baru kurang lebih 18 tahun tak segan mengikuti kegiatan kami. Seolah kami ditunjukkan oleh beliau bahwa pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama, bukan kaum tua saja ataupun kaum muda saja. Rumah Pak Ali sebenarnya berada di Menggamat, bukanlah Sara Baru. Bersama sang Istri Pak Ali melakukan aktivitasnya menyusuri sungai Lawe Melang untuk datang kesekolah.
Inilah sosok Pak Ali Hanafiah
Jarak dan resiko yang besar, Pak Ali bersama istri dan beberapa guru lainnya memilih tinggal di rumah dinas yang terletak di sanping sekolah. Kadang seminggu berada di Sara Baru kemudian turun (istilah pulang kerumah) atau tergantung ketika ada urusan mendadak. Pak Ali dibantu oleh 8 orang Guru dan juga karyawan setiap harinya untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari di SD tersebut.
Kegiatan di dalam ruangan
Kegiatan pun usai, kami melangkah meninggalkan SD dan menuju ke dermaga. Anak-anak Sara Baru pun mengikuti kami ke dermaga. Mereka menghantarkan kami pulang di dermaga sembari bermain air, layaknya di taman bermain. Ya karena tempat itulah mereka biasanya bermain dan mencari ikan.
Bagi mereka inilah kolam renang tempat taman bermain yang paling mewah
Inilah video perjalanan kami dan kegiatan kami selama berada di SD Alue Keujrun, Sara Baru, Menggamat, Kabupaten Aceh Selatan.

Beberapa bulan setelah acara itu, di bulan Agustus kami sempat bertemu Pak Ali Hanifiah lagi, tepatnya di acara perpisahan guru SM-3T dan juga penerimaa Gurdacil (Guru Daerah Terpencil) Kabupaten Aceh Selatan. Kebetulan SD Alue Keujrun mendapatkan beberapa Guru bantu dan menurut info sejak saat itu telah dibuka SMP satu atap di Alue Keujrun Sara Baru. Info yang menyegarkan bagi kami karena anak-anak di Sara Baru tak perlu turun untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi setelah lulus dari SD.

27 May 2016

Membalas Menghadiri Kenduri Maulid Nabi

Aceh, daerah yang terkenal syariat islamnya, kental dengan budaya agamanya. Kebudayaan dan agama ibarat koin logam yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Kenduri, begitulah tradisi warga aceh untuk menunjukkan rasa kebersyukuran terhadap yang Maha Pencipta. “Orang Aceh itu dikit-dikit kenduri, dan kenduri di Aceh pun banyak, keadaan ekonomi masyarakatnya pun juga tidaklah baik, tapi warga sini selalu menyisihkan uangnya untuk kenduri”. Begitulah kalimat yang pernah saya dengar dari seorang warga Aceh, yang kebetulan tetangga dimana saat ini saya tinggal, yaitu di Gampong (Gampong=Desa) Lhok Aman, Kecamatan Meukek, Kabupaten Aceh Selatan.
Barisan melingkar pada saat dzikir maulid
Memang benar kenduri di Aceh itu banyak, sebagai contoh adalah kenduri Kejirat (kenduri makam leluhur), mak megang (rabu pungkasan dalam adat jawa), kenduri padi, kenduri laut, kenduri Maulid Nabi dan lain-lain. Hal paling menarik untuk disampaikan adalah kenduri Maulid Nabi. Kenduri yang mungkin dilaksanakan silih berganti dalam waktu kurang lebih 3 bulan. Kenduri Maulid ini dilaksanakan setiap Desa dengan mengundang Desa tetangga yang lain. Setiap Desa akan saling berbalas mengundang Desa yang telah mengundangnya. Contohnya adalah seperti ini, semisal Desa kami mengundang Desa A, B dan C, dan sewaktu Desa A melaksanakan kenduri, maka Desa A tersebut akan mengundang Desa kami, Desa B dan C, begitu juga Desa B dan C sewaktu melaksanakan kenduri Maulid di tempatnya masing-masing.
Truk yang terjebak di bebatuan aliran sungai
Siang itu adalah kesempatan kami membalas undangan kenduri maulid di Desa Bukit Meh. Desa yang letaknya di bawah pegunungan. Nampaknya jalan yang kami lewati tidaklah mudah, hanya ada jembatan gantung yang sudah mulai reot, itupun hanya bisa dilewati untuk pejalan kaki dan sepeda motor. Sedangkan kami beserta rombongan berangkat dari desa kami menggunakan truk terbuka. Menyusuri sungai merupakan jalan satu-satunya supaya dapat sampai ke tempat lokasi. Nampaknya kami menemui masalah, ban truk terus memutar tanpa ada pergerakan ketika menyusuri sungai tersebut. Akhirnya kami turun truk dengan melipat celana sampai ke lutut. Mendorongpun juga tak ada hasil, akhirnya kami bergegas menyusuri sungai dan meninggalkan truk tersebut berjalan kaki sembari menenteng sandal ditangan.
Menyusuri sungai, bergegas untuk ke lokasi
Sesampainya di tempat lokasi, badan kami sudah berkeringat dengan celana yang basah. Kami pun mulai berjajar membuat lingkaran. Para tokoh pemuda desa kami mulai mengarahkan anak-anak supaya dengan segera membentuk lingkaran dengan rapi. Terlihat di barisan, generasi anak-anak dari umur SD, SMP, SMA dan para pemuda aceh bersemangat untuk melesatrikan budaya dan tradisi ini.

Beberapa shalawat kami bawakan pada hari itu, kurang lebih 2 jam kami berdzikir shalawat nabi. Menyelami kebudayaan dan tradisi aceh, duduk bersama mereka generasi penerus kebudayaan dalail khairat adalah merupakan pengalaman yang tak akan terlupakan.

Sebaris bersama mereka, cikal bakal pewaris kebudayaan
Setelah selesai, sebelum pulang kami akan diberikan “kena” kalau dalam istilah jawa adalah berkat. Kena adalah baskom plastik yang berisi nasi, kawan nasi/lauk-pauk lengkap dengan buah dan berbagai kue dan minuman. Setiap yang ikut dzikir maulid tadi akan mendapat 2-3 kena tergantung dari banyaknya jumlah kena kenduri yang tersedia. Kena merupakan kenduri dari warga desa. Setiap rumah biasanya disuruh membuat 10-20 buah kena lengkap dengan isinya, atau banyaknya tergantung kesepakatan oleh warga desa.
Kami mendapatkan bagian kena masing masing
Melewati jembatan tua satu-satunya, truk pun hanya bisa sampai diseberang sungai 
Tiga buah kena, tak kuasa tangan membawanya
Satu persatu saling bantu menaiki bak truk
Bisa dibayangkan berapa banyak uang yang disisihkan untuk kenduri maulid saja?itu hanya untuk satu kenduri maulid saja, misal kenduri yang lainnya?. Tapi warga tak pernah berkeluh kesah, karena tradisi seperti itu adalah bentuk kebersyukuran dengan yang Maha Pemberi Rezeki. Inilah Aceh, dengan tradisi dan budaya keislamannya. Setiap daerah pasti memiliki kebudayaan dan tradisinya dan semua itu memiliki ciri khas tersendiri, keberagaman membuat indah dengan saling mewarnai.



22 April 2016

Sabang, Pariwisata Bahari Aceh yang Akan Terkenang

Sabang, tujuan perjalanan selanjutnya setelah menempuh kurang lebih 412 Kilometer dari kabupaten aceh selatan ke ibukota provinsi untuk napak tilas peristiwa tsunami. Ini adalah pengalaman pertama berkendara jauh bersepeda motor selama di Aceh Selatan. Tak terbayangkan sebelumnya bisa sampai ke Aceh, apalagi di sabang, kota yang kita kenal sebagai “Titik Nol” nya Indonesia. Kota yang beribu kilometer jaraknya dari tempat sebenarnya saya berasal.
Dulunya hanya terngiang pada lirik lagu "..Dari sabang sampai Merauke..”, kini akhirnya menginjakkan kaki juga di pulau yang disebut-sebut dalam lagu tersebut. Akhir tahun 2015, tepatnya tanggal 29 Desember 2015 saya berkesempatan untuk mengunjungi pulau terbarat di Indonesia. Dengan menggunakan Kapal Feri bertarif 25 ribu rupiah kita bisa menyebrang dari pelabuhan Ulee Lheue ke Pelabuhan Balohan. Waktu yang ditempuh antar pelabuhan tersebut kurang lebih adalah 2 jam.
Menyebrang ke Sabang lewat Pelabuhan Ulee Lheue
Sabang dengan wisata baharinya, membuat setiap orang pasti ingin untuk mengunjungi. Sebelum sampai ketempat ini, carilah refrensi tempat wisata yang “harus” dikunjungi supaya tidak ada tempat wisata yang terlewatkan. Kalaupun bingung, bisa cari informasi di pelabuhan balohan, nanti akan mendapatkan peta objek wisata. Peta tersebut cukup membantu untuk kita gunakan sebagai guide kita selama berwisata di Sabang.
Peta wisata Sabang yang bisa kita dapatkan di pusat informasi Pelabuhan Balohan
Diatas kapal perjalanan ke Sabang
Sekitar pukul 2 siang kapal berlabuh di pelabuhan Balohan Sabang. Destinasi yang pertama kali saya kunjungi adalah ke Tugu Nol Kilometer. Sengaja mendatangi Tugu Nol Kilometer supaya bisa menikmati sunset di senja hari. Tugu Nol kilo meter yang langsung berhadapan lautan lepas, menjadikan suasana jingga menyala saat senja begitu terasa. Benar saja, saya mendapatkan senja sang surya sempurna terlihat ketika meninggalkan haris horizon samudra. Meski tugu dalam proses pemugaran, tetapi terlihat setiap orang yang telah sampai datang ke tempat itu ingin mengabadikan moment di tugu ujungnya indonesia, saat senja dengan cara setiap individu yang berbeda.
Tugu kilometer nolnya Indonesia
Hari berikutnya, pantai Iboih berpasir putih dengan spot snorkeling favorit adalah tujuan selanjutnya. Letak spot snorkeling adalah di pulau seberang pantai Iboih, yaitu pulau Rubiah.
Pantai Iboih dengan spot snorkeling favorit
Untuk dapat sampai ke pulau seberang, kita menyewa kapal yang dapat di isi sampai dengan 10 orang. Tak perlu bingung, di sekitaran pantai Iboih banyak tersedia persewaan perlengkapan snorkeling, maupun diving. Perlengkapan snorkeling (life jacket, Snorkel dan kacamata, Kaki katak) yang lengkap mulai 80 ribu untuk harga sewa sehari.
Sewa perahu untuk menuju ke spot snorkeling di Pulau Rubiah.
Bersama teman-teman, snorkeling akan terasa menyenangkan
Terumbu karang dan ikan banyak kita jumpai di spot snorkeling pulau Rubiah. Sebagai saran, gunakan guide sebagai pemandu snorkeling. Guide akan mengarahkan kita menunjukkan dimana spot snorkeling yang bagus, akan membantu juga untuk mengabadikan moment anda ketika bersnorkeling.
Spot sepeda motor di bawah laut
Kita akan disambut dengan berjuta keidahan ikan dan terumbu karang
Guide yang membersamai kami saat itu menunjukkan beberapa spot yang ada dipulau rubiah. Dari spot sepeda motor dibawah air, sampai spot menemukan ikan nemo. Hari itu, kami mulai snorkeling dari jam 9 sampai dengan sore sekitar jam 4 sore.
Hay Nemo Sabang !
Seharian bermain air, tapi sepertinya masih kurang untuk mengeksplore keindahan alam bawah laut di pulau Rubiah. Ini adalah keindahan alam bawah laut nyata di ujung indonesia.
Saatnya kembali ke daratan setelah seharian di lautan
Tanggal 31 Desember keesokan harinya, di akhir tahun 2015, tujuan selanjutnya adalah mendatangi tempat wisata yang belum dikunjungi, sembari melanjutkan perjalanan untuk kembali menyebrang ke kota Banda Aceh. Pantai Sumur Tiga, pantai yang juga berpasir putih adalah pantai yang juga favorit untuk dikunjungi. Pantai yang berada dibawah jurang ini mengharuskan kita menuruni anak tangga untuk sampai di bibir pantai.
Pantai Sumur Tiga, Pantai berpasir putih yang akan menjadi primadona
Sabang Marine Festival  ( sumber ; http://disbudpar.acehprov.go.id)
Selanjutnya adalah mengunjungi Benteng Jepang, tempat yang dijadikan markas angkatan laut jepang di tahun 1942. Pada kurun waktu tahun 1942-1945 sabang dijadikan markas angkatan laut jepang guna menghadapi sekutu di samudra hindia. Ditempat itu masih terdapat meriam besi disalah satu bangunannya.
Meriam yang masih tersisa di lokasi Benteng Jepang
Diatas benteng pertahanan jepang, yang langsung menghadap ke lautan
Sebenarnya masih banyak tempat yang belum saya kunjungi pada waktu itu, karena mengejar jadwal keberangkatan kapal dari pelabuhan balohan ke Ulee Lheue akhirnya selesai sudah perjalanan di kota sabang.
Terimakasih Sabang !
Ada banyak hal baru yang bisa dibawa pulang, perjalanan panjang dari kabupaten aceh selatan ke sabang. Ya, pulau ujung Indonesia, akhirnya kaki dan jiwa raga saya sudah pernah menginjakkan di sana. Perjalan ini pun saya abadikan, supaya bisa akan selalu terkenang, menjejakan kaki ke pulau diujung Indonesia

Akan ada banyak cerita yang bisa disampaikan kelak pada keluarga sewaktu pulang ke “pelabuhan terindah”, kota dimana saya sesungguhnya berasal yaitu Yogyakarta. Namun, Sabang kota diujung seberang, semoga tak lekang dan akan selalu terkenang hingga usia mendatang.

20 April 2016

Sehari Napak Tilas Peristiwa Tsunami

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 412 kilometer, kurang lebih 8 jam perjalanan naik sepeda motor, akhirnya sampai juga di Ibukota Provinsi Aceh pada malam harinya. Beberapa tempat wisata yang kami list akan kami coret satu persatu di keesokan paginya, setelah semalaman beristirahat di Wisma Dermaga. Harga sewa wisma yang lumayan murah dibandingkan yang lain, setelah kami muter-muter dan survey ke beberapa tempat selama 2 jam untuk mencari tempat persinggahan. Seratus ribu permalam harga sewa sebuah kamar di Wisma Dermaga yang bisa dipakai untuk 2 orang, dilengkapi kipas dan kamar mandi dalam.
Selamat datang di Aceh Museum Tsunami
Pagi itu, 28 Desember 2015 bangun pagi yang tak seperti sedia kala. Pagi pertama tanpa kokokan ayam yang biasa terdengar saat di Aceh Selatan. Layaknya liburan singkat sehari, mengunjungi museum dan beberapa tempat saksi bisu peristiwa tsunami di kota Banda Aceh dan sekitarnya 10 tahun silam, seolah membawa pikiran kembali mengingat terjadinya tsunami. 
Helikopter yang rusak di terjang tsunami
Tempat yang akan kami singgahi pertama kali adalah Museum Tsunami. Tempat yang mengingatkan dan membawa ke peristiwa tsunami. Didepan pintu masuk, sebelum memasuki lorong tsunami dipajang bangkai helikopter yang sudah rusak. Saat masuk lorong tsunami, suasana gelap dengan gemercik air, membawa kita ke peristiwa tsunami 26 desember 2004 silam yang lalu.
"Seribu Nama" diruang doa
Setelah masuk lorong tsunami, kita akan dibawa ke ruang sumur doa, jembatan harapan dan beberapa sudut ruangan lainnya yang akan menunjukkan betapa dahsyatnya peristiwa tsunami saat itu. Menurut saya, Museum tsunami bukanlah sebuah tempat wisata belaka, museum tsunami merupakan bagian dari sejarah warga aceh dengan semangatnya tumbuh menjadi aceh yang baru.
Kumpulan foto yang tersaji di sudut Museum Tsunami
"Space of Hope" Jembatan Harapan
Selanjutnya, tempat yang menjadi list tujuan adalah Museum kapal PLTD (pembangkit Listrik Tenaga Diesel) Apung I yang beroperasi lepas pantai. Di tempat ini, saya diperlihatkan betapa kuatnya gelombang tsunami saat itu. Kapal besi dengan berat 2600 Ton terdorong gelombang tsunami sejauh 5 kilometer kedaratan.
Kapal PLTD yang terdampar di tengah kampung
Kapal yang sebelum peristiwa tsunami beroperasi sebagai pembangkit listrik tenaga diesel 10 Megawatt, dan mulai sejak 21 Juni 2010 Kapal tersebut berubah menjadi situs sejarah . Mesin diesel listrik yang berada didalamnya dibongkar dan dipindahkan ke PLTD Luengbata. Sejak saat itu, Kapal Apung I PLTD yang terdampar sudah beralih fungsi, disulap menjadi situs dan wisata museum edukasi.
Dek kapal dirubah menjadi museum edukasi
Informasi digital mengenai kapal dan keadaan sebelum dan sesudah tsunami
Museum Aceh, destinasi selanjutnya yang kami kunjungi saat waktu telah beranjak semakin sore. Sepertinya kurang beruntung saat sampai di tempat itu. Pintu museum telah tertutup rapat, hanya tersisa pintu gerbang yang masih terbuka dan menyisakan beberapa pengunjung saja. Museum yang layaknya miniatur Aceh, kearifan lokal aceh semua bisa kita jumpai di Museum Aceh ini.


Museum Rumoh Aceh
Akhir dari perjalanan di Banda Aceh hari itu adalah Masjid Raya Baiturrahman. Bangunan satu satunya yang hanya tersisa diantara bangunan lainnya saat tsunami terjadi. Bangunan bagian depan Masjid sedang di rehab dan rencananya akan dibangun payung besar yang dapat membuka tutup.
Sudut yang Masjid Raya Baiturrahman di sore hari
Liburan sehari di Banda Aceh, mungkin seperti itu istilahnya. Mengunjungi benda mati yang pernah menjadi saksi kedahsyatan tsunami. Kota yang dikenal sebutan tanah rencong dengan syariat islamnya.
Syariat islam yang diterapkan pada jam buka kunjung museum. Saya mendapati jam-jam waktu masuk sholat, museum-museum itu ditutup sementara. Yang paling kentara adalah sewaktu menyinggahi Museum PLTD Apung I saat memasuki waktu adzan ashar. Terdengar dari pengeras suara menyerukan untuk segera meninggalkan museum, hitung mundur dari 15 menit sebelum waktu adzan tiba. Akan ada petugas penertiban, yang memukul pagar besi museum itu, sembari berteriak kepada pengunjung untuk meninggalkan musem dengan segera. Ini adalah hal baru yang pernah saya temui, liburan di kota paling ujung di negeri ini, kota dengan syariat islami.


8 January 2016

"Berkereta" Sejauh 412 Kilometer Menuju Ibukota Provinsi


Kurang lebih Empat ratus dua belas kilometer perjalanan touring dari kabupaten menuju ibukota provinsi itu telah terlewati. Liburan sekolah akhir tahun dan juga mumpung lagi di aceh selatan ingin mengunjungi ke beberapa tempat di ibukota provinsi. Ya, Banda aceh, ibukota provinsi yang terletak paling ujung di negeri ini. Tujuannya bukan hanya banda aceh, tapi sekaligus menyinggahi kota sabang. 
tak lupa selfie 
27 desember 2015, sekitar pukul 11 siang dengan mengendarai “kereta” (sebutan sepeda motor warga aceh) bersama teman seperjuangan sebut saja jihan (bukan nama samaran) perjalanan panjang itu dimulai. Sempat bertanya ke warga tetangga, jarak tempuh kabupaten aceh selatan dengan banda aceh itu berapa jam. Jawabannya pun beragam, ada yang menjawab 6 jam sampai 10 jam, yaa rata-rata 8 jam lah kira-kira. Bukan jarak yang dekat mengingat rute yang akan ditempuh adalah perjalanan dari kabupaten ke ibukota provinsi. Kalau dijawa, jarak 412 km itu sudah lintas provinsi. 
jalanan menuju ibukota, menyusuri pinggir lautan
Ini adalah touring perdana di aceh yang bakal menjadi pengalaman perjalanan yang panjang. Di mulai dari Aceh selatan kemudian masuk daerah Abdya (Aceh barat daya) – Nagan Raya – Meulaboh – Aceh Jaya – Aceh Besar - Lhok Nga kemudian baru sampai di pusat kota Banda Aceh. Selama menempuh 412 KM itu rute yang dilewati pun bisa dibilang asik. Melewati pinggiran tepi pantai dan pegunungan, melewati hutan sawit. Seperti pemandangan di Gunung Geurutee. Kami sempat singgah ke warung didaerah puncak gunung Geurutee, sembari ngeteh manis menikmati sunset.
singgah di Puncak Geurutee sembari ngeteh manis
Sempat melihat postingan di IG akun Aceh, bahwa pulau yang terlihat dari Puncak Gunung Geurutee dulunya sebelum bencana tsunami, pulau tersebut menyambung menjadi satu, tetapi setelah tsunami pulau itu terpisah, dan diberi nama pulau Tsunami. Puncak Gunung Geurutee ini berlokasi di Aceh Jaya kilometer 66. Seselesainya ngeteh manis, setelah menuruni Puncak Gunung Geurutee, kami berhenti sejenak, karena hujan yang lumayan lebat. Kurang lebih pukul 9 malam kami sampai di banda aceh. Kalau ditotal berarti perjalanan kami menghabiskan waktu 10 jam dengan waktu istirahat makan dan singgah karena hujan. Setelah sampai di banda, kami harus muter-muter mencari tempat penginapan yang terjangkau. Akhirnya dapat di Wisma Dermaga yang terletak di  sekitar terminal labi-labi dekat pasar aceh. Pengalaman berkendara pertama ditanah rantau dengan jarak tempuh yang lumayan jauh.

Copyright © #ndesolicious | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com