Aceh, daerah yang terkenal
syariat islamnya, kental dengan budaya agamanya. Kebudayaan dan agama ibarat
koin logam yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Kenduri,
begitulah tradisi warga aceh untuk menunjukkan rasa kebersyukuran terhadap yang
Maha Pencipta. “Orang Aceh itu dikit-dikit
kenduri, dan kenduri di Aceh pun banyak, keadaan ekonomi masyarakatnya pun juga
tidaklah baik, tapi warga sini selalu menyisihkan uangnya untuk kenduri”. Begitulah
kalimat yang pernah saya dengar dari seorang warga Aceh, yang kebetulan tetangga
dimana saat ini saya tinggal, yaitu di Gampong (Gampong=Desa) Lhok Aman, Kecamatan
Meukek, Kabupaten Aceh Selatan.
Barisan melingkar pada saat dzikir maulid
Memang benar kenduri di Aceh itu
banyak, sebagai contoh adalah kenduri Kejirat (kenduri makam leluhur), mak
megang (rabu pungkasan dalam adat jawa), kenduri padi, kenduri laut, kenduri Maulid
Nabi dan lain-lain. Hal paling menarik untuk disampaikan adalah kenduri Maulid
Nabi. Kenduri yang mungkin dilaksanakan silih berganti dalam waktu kurang lebih
3 bulan. Kenduri Maulid ini dilaksanakan setiap Desa dengan mengundang Desa tetangga
yang lain. Setiap Desa akan saling berbalas mengundang Desa yang telah
mengundangnya. Contohnya adalah seperti ini, semisal Desa kami mengundang Desa A,
B dan C, dan sewaktu Desa A melaksanakan kenduri, maka Desa A tersebut akan
mengundang Desa kami, Desa B dan C, begitu juga Desa B dan C sewaktu
melaksanakan kenduri Maulid di tempatnya masing-masing.
Truk yang terjebak di bebatuan aliran sungai
Siang itu adalah kesempatan kami membalas
undangan kenduri maulid di Desa Bukit Meh. Desa yang letaknya di bawah
pegunungan. Nampaknya jalan yang kami lewati tidaklah mudah, hanya ada jembatan
gantung yang sudah mulai reot, itupun hanya bisa dilewati untuk pejalan kaki
dan sepeda motor. Sedangkan kami beserta rombongan berangkat dari desa kami
menggunakan truk terbuka. Menyusuri sungai merupakan jalan satu-satunya supaya
dapat sampai ke tempat lokasi. Nampaknya kami menemui masalah, ban truk terus
memutar tanpa ada pergerakan ketika menyusuri sungai tersebut. Akhirnya kami
turun truk dengan melipat celana sampai ke lutut. Mendorongpun juga tak ada hasil,
akhirnya kami bergegas menyusuri sungai dan meninggalkan truk tersebut berjalan
kaki sembari menenteng sandal ditangan.
Menyusuri sungai, bergegas untuk ke lokasi
Sesampainya di tempat lokasi, badan
kami sudah berkeringat dengan celana yang basah. Kami pun mulai berjajar
membuat lingkaran. Para tokoh pemuda desa kami mulai mengarahkan anak-anak
supaya dengan segera membentuk lingkaran dengan rapi. Terlihat di barisan,
generasi anak-anak dari umur SD, SMP, SMA dan para pemuda aceh bersemangat
untuk melesatrikan budaya dan tradisi ini.
Beberapa shalawat kami bawakan pada
hari itu, kurang lebih 2 jam kami berdzikir shalawat nabi. Menyelami kebudayaan
dan tradisi aceh, duduk bersama mereka generasi penerus kebudayaan dalail
khairat adalah merupakan pengalaman yang tak akan terlupakan.
Sebaris bersama mereka, cikal bakal pewaris kebudayaan
Setelah selesai, sebelum pulang
kami akan diberikan “kena” kalau
dalam istilah jawa adalah berkat. Kena adalah baskom plastik yang berisi nasi,
kawan nasi/lauk-pauk lengkap dengan buah dan berbagai kue dan minuman. Setiap yang
ikut dzikir maulid tadi akan mendapat 2-3 kena tergantung dari banyaknya jumlah
kena kenduri yang tersedia. Kena merupakan kenduri dari warga desa. Setiap rumah biasanya disuruh membuat 10-20 buah kena lengkap dengan isinya, atau banyaknya tergantung kesepakatan oleh warga desa.
Kami mendapatkan bagian kena masing masing
Melewati jembatan tua satu-satunya, truk pun hanya bisa sampai diseberang sungai
Tiga buah kena, tak kuasa tangan membawanya
Satu persatu saling bantu menaiki bak truk
Bisa dibayangkan berapa banyak uang yang
disisihkan untuk kenduri maulid saja?itu hanya untuk satu kenduri maulid saja,
misal kenduri yang lainnya?. Tapi warga tak pernah berkeluh kesah, karena
tradisi seperti itu adalah bentuk kebersyukuran dengan yang Maha Pemberi Rezeki.
Inilah Aceh, dengan tradisi dan budaya keislamannya. Setiap daerah pasti
memiliki kebudayaan dan tradisinya dan semua itu memiliki ciri khas
tersendiri, keberagaman membuat indah dengan saling mewarnai.
0 comments:
Post a Comment