“ditepian kota itu (p)enak”

12 June 2018

Tradisi Buka Bersama Warga Lhok Aman Aceh Selatan

Berhubung momennya bulan puasa, postingan blog kali ini adalah tentang tradisi buka bersama warga Lhok Aman, Kecamatan Meukek, Kabupaten Aceh Selatan. Ya.. masih tentang sesuatu yang berbau SM3T, karena cerita tetang SM3T saya anggap belum tuntas. 
Momen buka puasa di Gampong saya, Lhok Aman merupakan buka puasa yang istimewa. Mengapa istimewa? karena buka puasanya hanya dilaksanakan sekali saja selama bulan puasa. Kukira sih buka puasa bakalan setiap hari, kayak di kampung halaman, tapi ternyata tidak. Maklum berharap seperti itu, hidup bersama teman lainnya sampai hidup mandiri menyiapkan masakan sendiri sehingga berharap ada buka puasa adalah menghemat pengeluaran hehe. Oiya kalau buka puasa di sana biasanya masak ala kadarnya, tak ada spesial dengan menu setiap hari yang tak jauh dari tempe goreng sambel dan biasanya tumis kangkung. Dekat dengan laut seharusnya mengkonsumsi ikan laut segar, tetapi karena goreng ikan itu menghabiskan banyak minyak goreng jadinya males. Tapi ya berkah puasa itu sering dikirimi lauk dan nasi dari murid dan tetangga, kadang pun diundang buka bersama keluarga murid di rumahnya. Tapi kalau masak ya palingan sekalian masak buat sahur, masak untuk porsi dua orang.
Proses pemotongan hewan kambing
Kembali mengenai tradisi buka bersama tadi, mengapa cuma satu kali? Pada saat itu buka bersama dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 2016. Setelah melihat tanggalan di 2016, saya cocokan antara hitungan masehi dan hitungan hijriah, ternyata menurut hitungan tahun hijriah, tanggal 27 juni 2016 adalah tanggal 21 Ramadhan. Kalau di kaitkan dengan tradisi jawa, ada beberapa tempat pada tanggal tersebut (21 Ramadhan) dilaksanakan kenduri atau genduren "selikuran". Maksudnya kenduri yang dilaksanakan pada tanggal 21 Ramadhan.
Mesin pemarut kelapa yang nantinya parutan kelapa untuk membuat santan
Acara buka bersama di Gampong Lhok Aman melibatkan seluruh warga. Persiapan dan masak-masak pun dilaksanakan oleh pemuda, bapak-bapak dan ibu-ibu. Seolah kaya makan besar, menyembelih kambing, ayam dan itik. Jadi pada saat buka bersama nanti warga tinggal membawa nasi dan makanan ringan sebagai camilan. Penyembelihan kambing, ayam dan itik dilakukan oleh para pemuda dan bapak-bapak, sedangkan yang bagian masak adalah kaum ibu-ibu. Semua dilaksanakan diarea masjid. Kalau istilahnya jawa "kabeh guyup rukun dadi siji" ditempat itu.
Para pemuda kebagian memotongi daging kambing dan ayam untuk dimasak menjadi gulai
Setelah mendekati waktu buka bersama, Tengku memberikan ceramah. Oiya Tengku itu adalah sebutan untuk kiayi masjid disitu atau kalau pernah lihat dinama-nama tulisannya Tgk. Tengku beda dengan Teuku, kalau Teuku itu lelaki keturunan kerajaan, kalau yang cewek itu Cut.
Oke kembali ke persiapan buka bersama hehe. Warga yang lainnya membawa nasi dan rantangan lengkap lauk dan kue-kuenya, sedangkan saya hanya membawa satu nasi yang diwadahi ditempat makan berlabel anti pecah dan jika pecah bisa dituker kembali, hehe.. Gulai kambing dan ayam maupun itik tersebut sudah diplastiki perporsi, jadi saat buka bersama tidak antri mengambil dan semua juga kebagian.
Duduk bersama bapak-bapak saat menunggu waktu berbuka puasa
Begitulah tradisi buka puasa bersama di gampong Lhok Aman, Gampong dimana saya tinggal selama setahun di Aceh Selatan, sampai jumpa di artikel selanjutnya..

25 May 2018

Mendadak ke Takengon

Mendadak ke Takengon ini merupakan artikel petualangan awal puasa tahun 2016, perjalanan meugang ke Takengon, Aceh Tengah. 
Oiya bagi yang belum tau apa itu meugang bisa kunjungi artikel sebelumnya..
Takengon merupakan dataran tingginya Aceh dengan Aceh Gayo (Gayo Lues) dan terkenal dengan daerah penghasil kopi nomor wahidnya dari Aceh. Meskipun berada didataran tinggi, tetapi di Takengon terdapat danau yang sering disebut danau Lut Tawar, tempat itulah yang akan dikunjungi bersama dengan teman-teman. Jaraknya sekitar 280 kilometer via Nagan Raya melewati Beutong Ateuh yang ditempuh hampir 12 jam. Kami berangkat bersepuluh, sama-sama tidak tahu rute yang akan dilewati. Tahunya cuma denger dari teman guru yang berasal dari Takengon bahwa nanti kalau sudah melewati daerah Nagan Raya akan melewati pegunungan yang panjang tanpa ada pemukiman penduduk dan tanpa ada yang jualan minyak (read: bahan bakar minyak). Saat itu berangkat dari Aceh Selatan sekitar pukul 10 siang, dan sampai di Nagan Raya sekitar pukul 2 siang, dan kami untuk istirahat sholat. Kalau tidak salah kami sampai di Takengon itu sudah pukul 10 malam.
Rutenya mbelah pegunungan di provinsi Aceh
Kondisi jalan berbatu bekas longsoran (Sumber: Foto FB Ninda)
Benar saja, kami melewati jalan pegunungan yang panjang setelah dari Nagan Raya, ada beberapa yang longsor juga. Rute yang kami lewati merupakan jalur alternatif "mbelah gunung" Aceh bagian selatan tenggara dengan Aceh bagian tengah utara, namun hanya beberapa yang lewat, konon rute yang kami lewati tersebut "rawan". Entah berita asli atau tidak, sehari setelah kami sampai di Takengon ketika kami ke pasar untuk mencari kopi sebagai oleh oleh, terdengar kabar bahwa telah terjadi penjambretan sekaligus pembunuhan di daerah pegunungan yang kami lewati. Kabar tersebut yang membuat kami mengurungkan niat untuk melewati rute tersebut saat akan kembali pulang nantinya. Akibatnya kami merubah rute dari Takengon menuju Bireun, Pidie Jaya, Meulaboh, rute yang lebih panjang dibandingkan jika melewati rute melewati Beutong Ateuh.
Mungkin ini salah satu perjalan dengan manajemen buruk dari penentuan tempat yang akan dikunjungi dan pengelolaan waktu. Ya karena memang belum matang juga persiapannya, sebenernya pengen ke Nias melihat lompat batu kayak di uang seribuan, tetapi karena badai, semua perjalanan laut menuju ke pulau nias menjadi tak tentu.
Landscape danau Lut Air Tawar Takengon
Ketika telah berada di Takengon, pagi harinya kami menuju ke danau Lut Tawar, sampai setengah hari disana, baru mau pindah lokasi ke spot lainnya,.. lah dalah turun hujan, akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi perjalanan di Takengon dan kembali ke penginapan.
Bersepuluh menuju Takengon
Lengkap, selamat datang di danau Lut Air Tawar Takengon
Dihari berikutnya, kami melanjutkan ke pasar untuk mencari kopi, dan siangnya kami harus meninggalkan Takengon untuk kembali pulang karena sekolah telah menanti hehe.
Salah satu gerosir warung kopi di pasar Takengon
Motor sebagus inipun dijadikan becak motor
Menemukan toko cat yang juga menjual kaset pita, aneh ya hehe
Koleksi kaset pita yang masih bersegel baru dengan harga yang masih sama dengan labelnya
Oiya pada waktu sampai takengon sehari sebelum masuk bulan puasa, maka malamnya kami melaksanakan tarawih di Masjid Raya Takengon.
Ngisi buku agenda ramadhan, Bapak-bapak itu Bupati Takengon lho
Dibarengi hujan, siang harinya kami bergegas menuju pidie jaya, kebetulan ada teman sesama SM3T yang bertugas di Pidie Jaya. Ketika dalam perjanalan pun sempat terjadi problem pada motor yang saya naiki. Karena kunci motor dengan rumah kuncinya sudah longgar, ketika melewati jalanan rusak kuncinya jatuh. Dan itu baru sadar setelah kurang lebih jaraknya 10 kilo. Tak mungkin untuk putar balik hanya demi mencari kunci motor yang jatuh. Mencari solusi, membobol kabel di rumah kunci dan membobol rumah kunci di jok untuk mengisi bensin, lagi-lagi apes hehe.. Sesampainya di Pidie Jaya saat itu sudah memasuki adzan maghrib, pas buka puasa. Akhirnya kami bermalam di Pidie Jaya dan keesokan harinya melanjutkan perjalanan menuju ke Meulaboh.
Di kick starter pun nggak nyala, lah bensin habis (Sumber: Foto FB Ninda)
Keapesan berikutnya adalah ketika dalam perjalanan dari Pidie Jaya menuju Meulaboh. Perjalanan yang panjang dan tidak mengetahui rute, saat sampai di jalan tengah hutan, satu persatu motor kehabisan bensin, solusi awalnya kami menyedot dan memindahkan bensin ke motor lainnya. Pikir kami ditengah hutan tidak akan lama, tetapi nyatanya kami menghabiskan waktu kurang lebih 4-5 jam berkutat melewati hutan untuk sampai ke Meulaboh.
Motor matic yang mengharuskan menyedot langsung  dari tank (Sumber: Foto FB Ninda)
Saat tragedi kehabisan bensin itu sekitar jam 4.30 sore, akhirnya kami mengambil keputusan 4 motor disedot habis bensinnya untuk dimasukan ke 1 motor yang akan turun untuk mencari bensin. Saat itu Eko dan Alfian lah yang turun untuk mencari bekal bensin. Sisanya kami memilih duduk di pinggiran jalan sembari membuat tulisan "tolong kami kehabisan minyak", tetapi apes juga tidak ada yang membantu, hanya beberapa mobil yang lewat kala itu. Bisa dibayangkan jika kami tidak mendapatkan minyak, kami akan bermalam di hutan yang tidak tau gimana keadaannya karena baru jam 4.30 saja suasana sudah mencekam dengan suara-suara aneh.
Sembari menunggu datang bensin, bermain kartu adalah bukan salah satu solusi
Keapesan telah terlewati, kami sampai di Meulaboh sekitar jam 7 malam, kami rehat untuk buka puasa dan sholat terlebih dahulu sembari memutuskan untuk apakah terus atau harus cari penginapan lagi. Kami yang cowok-cowok sebenernya berani pulang langsung tanpa bermalam di penginapan Meulaboh, tetapi dari pihak cewek memilih menginap. Maklum jarak Meulaboh ke Aceh Selatan masih sekitar 3-4 jam. Setelah keputusan itu, kami seolah sedang dalam perang dingin kubu cewek dan cowok. Setelah malam itu mendapatkan penginapan kami segera beristirahat dan kembali pulang di pagi harinya.
Ya begitulah touring yang bisa dikatakan gagal karena manajeman yang kurang pas dan dadakan, beda ketika saya touring berdua ke Banda Aceh dan Sabang kala itu.
Terimakasih yang sudah sempat berkunjung dan telah membaca hehe..

19 May 2018

Lemang yang Harus Ada Saat Tradisi Meugang

Haloo..prolognya apa ya hehe.., wah sudah lama tidak melanjutkan menulis di blog ini, terlebih sebenernya pengen bercerita yang masih ada kaitannya dengan SM3T di Aceh Selatan. Terakhir saya menulis di blog ini pada Februari 2017 yang lalu tentang asal usul legenda Tapaktuan, nama ibukota kabupaten yang saya tinggali selama 2015-2016. Masih banyak cerita yang ini saya bagikan, tetapi mood untuk konsisten menulis itu tidaklah selalu ada hehe..
Akan tiba saatnya bulan puasa, momen ini saya jadi teringat sebuah tradisi di Aceh. Meugang atau makmeugang merupakan suatu tradisi penyembelihan sapi, kerbau atau kambing masyarakat Aceh ketika mau memasuki bulan puasa, Idul Fitri dan Idul Adha. Kalau di Jawa, meugang sama seperti halnya kenduri atau genduren. Meski ada cara meugang lainnya yang pernah saya tulis sebelumnya, bisa dibaca di artikel meugang dengan maksud tolak bala.
Penyembelihan hewan pada tradisi meugang dilaksanakan ditempat yang mudah diakses semua warganya, contohnya di Masjid. Namun untuk daerah yang saya tinggali, di Gampong Lhokaman, Meukek, Aceh Selatan, tradisi meugang yang mau memasuki bulan puasa tidak dilaksanakan penyembelihan hewan, yang ada hanya tradisi membuat lemang, ziarah ke makam kerabat yang sudah meninggal dunia dan saling membagikan makanan ke sanak saudara. Berkah juga sih, dengan status sebagai pendatang dan tinggal bersama teman-teman yang masih lajang sehingga banyak datang kiriman dari tetangga dan murid-murid. Oiya untuk tradisi meugang sebelum bulan puasa penyembelihan hewan mungkin dibeberapa tempat sudah tidak dilaksanakan, tetapi sekarang sudah banyak yang jualan daging sapi dipasar-pasar ketika tradisi meugang jadi warga tinggal membeli di pasar.
Proses pembuatan lemang
bambu yang berisi ketan dan santan itu dimasak sampai mendidih
Makanan khas yang harus ada saat meugang yaitu lemang, lemang itu terbuat dari beras ketan yang dimasak dengan santan dan dimasukan ke dalam bambu. Hampir bahkan wajib setiap rumah membuat makanan camilan ini. lemang tersebut dimasak sampai mendidih, biasanya sekitar 1-2 jam dengan nyala bara api yang stabil.
Kalau ini lemang ketela
lemang ketan yang telah dibuka
Lemang biasanya disajikan dengan tape ketan merah atau kalau musim durian bisa disajikan dengan buah durian. Jangan heran, karena dekat dengan kebun durian, terkadang sering diberi durian oleh tetangga atau murid, kalau mau beli pun murah, kurang lebih satu durian seharga 5 ribu - 10 ribu saja.
Proses pembuatan lemang seperti video dibawah ini..

1 February 2017

Asal Mula Tapak Tuan Ibukota Aceh Selatan

Tapaktuan, Kecamatan paling sibuk di Kota yang terkenal dengan Buah Palanya yang juga merupakan Ibukota dari Aceh Selatan. Kabupaten Aceh Selatan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia sehingga menyebabkan iklim yang cukup panas. Kabupaten Aceh Selatan seperti terjepit karena diapit oleh Pegunungan Bukit Barisan dan Samudra Hindia.
Itulah prolog untuk kembali menceritakan Kota "Seribu Pala". Setahun sempat tinggal di Kota yang kurang lebih berjarak 412 kilometer dari pusat Provinsi Aceh tentunya banyak cerita yang didapat. Pada kesempatan kali ini, saya akan menyajikan coretan tentang asal mula atau legenda dari kota Tapaktuan. Jika berkesempatan ke Aceh Selatan, jangan lupa untuk mengunjungi salah satu objek wisata di Kota Tapaktuan. Obyek wisata tersebut adalah batu karang yang menyerupai bekas tapak kaki dan tempat itulah sampai sekarang diyakini sebagai cerita asal mula kota Tapaktuan.
Baiklah, dengan cerita yang didengar dari buah bibir tetangga semasa di Aceh Selatan dan melengkapi cerita melalui artikel di laman internet darulhasanahaceh.com rampunglah artikel asal usul Kota Tapaktuan di blog saya ini. Mari disimak...
Pada zaman dahulu hiduplah seorang pemuda berbadan tinggi bernama Teuku Tuan. Beliau hidup menyendiri di sebuah lereng gunung, setiap hari beliau selalu berzikir dan tidak pernah lupa menyebutkan nama Allah di dalam gua. Karena kebiasaan bertapa di dalam goa, maka Teuku Tuan itu disebut Tuan Tapa.
Suatu hari datanglah dua ekor Naga dari Negeri Cina yang bertemu dengan Tuan Tapa. Naga terebut adalah Naga Jantan dan Naga Betina. Sepasang Naga tersebut diusir sebuah Negeri Cina karena tidak mempunyai anak. Di Negeri Cina beranggapan bahwa Sepasang Naga yang tidak mempunyai anak adalah pembawa sial dan tidak patut tinggal disana. Bila nanti sepasang Naga telah mempunyai anak, barulah sepasang Naga tersebut diizinkan kembali ke sana. Setelah terjadi kesepatan antara Tuan Tapa dan sepasang Naga tersebut, akhirnya sepasang Naga diijinkan tinggal sementara di suatu tempat gunung di sana.
Jejak yang diyakini sebagai bekas Tapak Tuan Tapa (sudah diperbaiki dengan semen)
Suatu hari ketika sepasang Naga tersebut sedang berjalan-jalan di laut Aceh Selatan dari tengah lautan mereka mendengar suara tangis bayi. Suara tangis itu semakin lama semakin keras dan jelas. Begitu sampai di tengah laut, kedua Naga itu sangat terkejut. Mereka melihat seorang bayi perempuan sedang terapung-apung di dalam sebuah ayunan yang terbuat dari anyaman rotan. Diambilah bayi tersebut dan hendak dibawa ke tempat tinggal sepasang Naga tersebut. Begitu mereka tiba di tempat peristirahatannya, ternyata Tuan Tapa sudah berdiri di depan pintu gua. Tuan Tapa kemudian memberikan pesan kepada sepasang Naga untuk menjaga anak perempuan tersebut dengan sebaik-baiknya.
Seiiring waktu, bayi perempuan itu tumbuh dewasa menjadi seorang gadis, diberilah nama Putri Naga oleh sepasang Naga yang telah merawatnya. Namun Putri Naga tersebut menyimpan pertanyaan besar, “Siapakah orangtua saya sebenarnya?”. Pertanyaan itu tak membuahkan hasil ketika bertanya dengan sepasang Naga, maupun bertanya dengan hewan-hewan lain yang melindunginya. Suatu saat pertanyaan tersebut didapatlah jawaban bahwa suruh menanyakan Tuan Tapa yang sedang bertapa di dalam suatu goa. Alhasil Putri tersebut pergi ke tempat Tuan Tapa. Sesampainya, Tuan Tapa memberi jawaban “Kamu adalah anak seorang  Raja. Ketika kamu masih bayi, kamu hanyut di tengah lautan. Saat kamu terapung-apung di lautan kedua Naga itu datang menyelamatkanmu dan menganggapmu sebagai anaknya. Tidak lama lagi orangtuamu akan datang menjemputmu”. Kemudian sang Putri meninggalkan tempat Tuan Tapa.
Selang beberapa hari kemudian datanglah orangtua asli Putri tersebut. Orangtua Putri kemudian bertemu dengan Tuan Tapa dan meminta izin untuk mengambil kembali anak mereka. Tuan Tapa menyuruh agar meminta izin kepada sepasang Naga, karena kedua Naga itulah yang menyelamatkan dan merawat Putri tersebut sampai dewasa. Orangtua kandung Putri itu pun meminta izin kepada kedua Naga itu, namun sepasang Naga itu menolak. Mengetahui hal itu Tuan Tapa pun ikut campur tangan untuk membantu orangtua asli Putri tersebut.
Jalanan menuju obyek wisata Tapak Tuan Tapa yang berada di bibir lautan
Sepasang Naga pun tetap bersikukuh menolak dan berencana membawa Putri itu bersama mereka menuju ke Negeri Cina. Namun Tuan Tapa tidak membiarkan hal itu terjadi sehingga terjadilah perkelahian. Bukti perkelahian sepasang Naga dan Tuan Tapa di yakini warga sekitar masih bisa dilihat di beberapa tempat. Bekas telapak kaki Tuan Tapa masih bisa kita jumpai di bibir samudra hindia yang kini dijadikan sebagai obyek wisata. Kemudian bekas darah dari tubuh Naga yang hancur dan tumpah ke mana-mana masih dapat dilihat di pantai Desa Batu Hitam dan Batu Merah, sekitar 3 km dari kota Tapaktuan dalam bentuk batu.  Ada lagi tongkat dan topi Tuan Tapa yang sempat tercampak ke laut sampai sekarang diyakini masih terlihat dan telah menjadi batu yang terdapat di kawasan pantai Tapaktuan. Kemudian perkelahian tersebut akibat dari Naga betina yang mengamuk hendak melarikan diri ke Negeri Cina, Naga tersebut membelah sebuah pulau di kawasan Bakongan hingga menjadi dua bagian, pulau itu terkenal bernama Pulau Dua. Bahkan Naga itu mengamuk memporak porandakan sebuah pulau. Pulau itu terpecah-pecah, hingga kini disebut Pulau banyak yang terdapat di Kabupaten Aceh Singkil.
Pekelahian tersebut dimenangkan oleh Tuan Tapa dan Putri pun kembali ke dekapan orangtuanya. Sejak kejadian itu Tuan Tapa jatuh sakit. Dan selang beberapa hari kemudian beliau meninggal dunia. Jasadnya dikuburkan di kota Tapaktuan juga. Dari kejadian itulah ibu kota Aceh Selatan diberi nama Tapaktuan, artinya telapak kaki Tuan Tapa.
Sebuah pesan dari pengelola wisata yang mengingatkan pengunjung
Oya..jika sedang mengunjungi wisata Tapak Tuan Tapa harus melihat kondisi gelombang lautan. Jika gelombang sedang tinggi jangan paksakan untuk mendatangi Tapak tersebut karena tempatnya persis di bibir lautan danlang akses jalan yang dilewati pun merayap di dinding bebatuan karang. Ada satu lagi pesan yang perlu diperhatikan, keyakinan dari warga penduduk setempat, "Jangan terlalu ria, buang jauh-jauh rasa sombong di dalam diri".

9 November 2016

Kudapati "Sesuatu" di SD Alue Keujrun Sara Baru

Sara Baru, salah satu tempat yang berkesan setelah Gampong Lhokaman selama pengabdian di Kabupaten Aceh Selatan. Sara Baru adalah nama sebuah Dusun di Gampong (Desa) Alue Keujrun Kecamatan Kluet Tengah Manggamat Kabupaten Aceh Selatan. Gampong yang tidak terjangkau sinyal seluler, karena memang daerahnya berada jauh dari tower-tower BTS (Base Transmission Station). Meski hanya beberapa jam ditempat itu tanpa signal seluler, namun kenyamanan begitu terasakan.
Groufie bersama teman-teman SM3T dan Murid SD Alue Keujrun Sara Baru
Tepatnya ditanggal 30 Mei 2016, saya bersama teman-teman, yang juga keluarga seperantauan di Kabupaten Aceh Selatan, tergabung dalam SM3T Universitas Negeri Malang Angkatan V mengadakan program kegiatan "Berbagi Donasi" untuk murid-murid yang berada di SD Alue Keujrun. Sekolah yang hanya satu-satunya berada di Sara Baru, sehingga jika anak-anak sudah lulus SD mereka harus merantau dari Sara Baru untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Sekolah yang letaknya kurang lebih ditempuh dua jam dengan menyusuri sungai ke arah hulu dengan menggunakan stempel (sebutan perahu bagi warga sekitar). Stempel adalah satu-satunya alat transportasi  yang dapat digunakan untuk menuju ke Sara Baru. Transportasi air tersebut maksimal hanya bisa diisi dengan 9 orang penumpang, itupun sudah termasuk dengan pengemudinya. Pengalaman yang tak terlupakan bisa sampai ke tempat itu dengan menggunakan stempel yang sewaktu-waktu bisa terbalik jika penumpang banyak gerak atau pengemudinya salah memilih jalur aliran air yang mengalir.
Perjalanan menggunakan stempel menyusuri sungai Lawe Melang
Sang istri selalu setia menemani Pak Ali Hanafiah 
Berangkat pagi membersamai Pak Ali Hanafiah yang juga sebagai Kepala Sekolah SD Alue Keujrun bersama sang istri menjalani aktivitasnya menyusuri sungai Lawe Melang. Bagi warga sekitar Lawe Melang memiliki arti Air Besar karena rata-rata memiliki lebar sungai 15-20 meter. Kurang lebih 2 jam diatas stempel kami telah sampai di dermaga Sara Baru, meskipun tak nampak dermaga pada umumnya.
Dermaga yang tak nampak dermaga seperti pada umumnya
Dengan beberapa barang donasi yang dibawa dari kota, kami mulai melangkah meninggalkan dermaga. Tak terlalu jauh dari dermaga kami sampai di lokasi sekolah SD Alue Keujrun. Dua bangunan berdiri berdampingan kontras terlihat, disebelah kanan bangunan berdinding kayu dan berlaskan tanah, sedangkan disebelah kiri bangunan berdinding semen kokoh berdiri. Kalau dilihat dari bangunannya, dulunya di SD tersebut hanya terdapat 3 lokal (ruang kelas), bangunan kokoh disampingnya itu baru berdiri beberapa tahun terakhir.
Halaman depan ruang kelas yang berdebu tak menyurutkan siang itu
Kami mulai bermain dibawah bendera yang sama "Indonesia"
Bernyanyi dengan khidmat "Indonesia Raya" diawal kegiatan, mempertebal rasa nasionalisme pada jiwa anak-anak terlebih pada diri kami sendiri. Dibawah teriknya panas matahari tak menyurutkan semangat anak-anak Sara Baru untuk mengikuti kegiatan. Kami bermain, berbagi cerita dan motivasi kepada anak-anak penuh semangat itu. Tak banyak jumlah mereka, dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 mungkin tak genap 40 orang. Didalam ruangan kami lebih banyak mengajak anak-anak Sara Baru berkomunikasi. Bertukar cerita dan mengedukasi bagaimana menjaga kelestarian hidup di sekelilingnya. Juga mencari tau seperti apa ikan kerling yang konon katanya ikan air tawar yang paling mahal dan enak yang hanya dapat ditemui di sekitar sungai Menggamat.
Dan kami mulai bermain bersama
Pak Ali Hanafiah yang tak sungkan ikut serta muridnya bermain "ular naga"
Pak Ali yang telah mengabdi di Sara Baru kurang lebih 18 tahun tak segan mengikuti kegiatan kami. Seolah kami ditunjukkan oleh beliau bahwa pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama, bukan kaum tua saja ataupun kaum muda saja. Rumah Pak Ali sebenarnya berada di Menggamat, bukanlah Sara Baru. Bersama sang Istri Pak Ali melakukan aktivitasnya menyusuri sungai Lawe Melang untuk datang kesekolah.
Inilah sosok Pak Ali Hanafiah
Jarak dan resiko yang besar, Pak Ali bersama istri dan beberapa guru lainnya memilih tinggal di rumah dinas yang terletak di sanping sekolah. Kadang seminggu berada di Sara Baru kemudian turun (istilah pulang kerumah) atau tergantung ketika ada urusan mendadak. Pak Ali dibantu oleh 8 orang Guru dan juga karyawan setiap harinya untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari di SD tersebut.
Kegiatan di dalam ruangan
Kegiatan pun usai, kami melangkah meninggalkan SD dan menuju ke dermaga. Anak-anak Sara Baru pun mengikuti kami ke dermaga. Mereka menghantarkan kami pulang di dermaga sembari bermain air, layaknya di taman bermain. Ya karena tempat itulah mereka biasanya bermain dan mencari ikan.
Bagi mereka inilah kolam renang tempat taman bermain yang paling mewah
Inilah video perjalanan kami dan kegiatan kami selama berada di SD Alue Keujrun, Sara Baru, Menggamat, Kabupaten Aceh Selatan.

Beberapa bulan setelah acara itu, di bulan Agustus kami sempat bertemu Pak Ali Hanifiah lagi, tepatnya di acara perpisahan guru SM-3T dan juga penerimaa Gurdacil (Guru Daerah Terpencil) Kabupaten Aceh Selatan. Kebetulan SD Alue Keujrun mendapatkan beberapa Guru bantu dan menurut info sejak saat itu telah dibuka SMP satu atap di Alue Keujrun Sara Baru. Info yang menyegarkan bagi kami karena anak-anak di Sara Baru tak perlu turun untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi setelah lulus dari SD.

27 May 2016

Membalas Menghadiri Kenduri Maulid Nabi

Aceh, daerah yang terkenal syariat islamnya, kental dengan budaya agamanya. Kebudayaan dan agama ibarat koin logam yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Kenduri, begitulah tradisi warga aceh untuk menunjukkan rasa kebersyukuran terhadap yang Maha Pencipta. “Orang Aceh itu dikit-dikit kenduri, dan kenduri di Aceh pun banyak, keadaan ekonomi masyarakatnya pun juga tidaklah baik, tapi warga sini selalu menyisihkan uangnya untuk kenduri”. Begitulah kalimat yang pernah saya dengar dari seorang warga Aceh, yang kebetulan tetangga dimana saat ini saya tinggal, yaitu di Gampong (Gampong=Desa) Lhok Aman, Kecamatan Meukek, Kabupaten Aceh Selatan.
Barisan melingkar pada saat dzikir maulid
Memang benar kenduri di Aceh itu banyak, sebagai contoh adalah kenduri Kejirat (kenduri makam leluhur), mak megang (rabu pungkasan dalam adat jawa), kenduri padi, kenduri laut, kenduri Maulid Nabi dan lain-lain. Hal paling menarik untuk disampaikan adalah kenduri Maulid Nabi. Kenduri yang mungkin dilaksanakan silih berganti dalam waktu kurang lebih 3 bulan. Kenduri Maulid ini dilaksanakan setiap Desa dengan mengundang Desa tetangga yang lain. Setiap Desa akan saling berbalas mengundang Desa yang telah mengundangnya. Contohnya adalah seperti ini, semisal Desa kami mengundang Desa A, B dan C, dan sewaktu Desa A melaksanakan kenduri, maka Desa A tersebut akan mengundang Desa kami, Desa B dan C, begitu juga Desa B dan C sewaktu melaksanakan kenduri Maulid di tempatnya masing-masing.
Truk yang terjebak di bebatuan aliran sungai
Siang itu adalah kesempatan kami membalas undangan kenduri maulid di Desa Bukit Meh. Desa yang letaknya di bawah pegunungan. Nampaknya jalan yang kami lewati tidaklah mudah, hanya ada jembatan gantung yang sudah mulai reot, itupun hanya bisa dilewati untuk pejalan kaki dan sepeda motor. Sedangkan kami beserta rombongan berangkat dari desa kami menggunakan truk terbuka. Menyusuri sungai merupakan jalan satu-satunya supaya dapat sampai ke tempat lokasi. Nampaknya kami menemui masalah, ban truk terus memutar tanpa ada pergerakan ketika menyusuri sungai tersebut. Akhirnya kami turun truk dengan melipat celana sampai ke lutut. Mendorongpun juga tak ada hasil, akhirnya kami bergegas menyusuri sungai dan meninggalkan truk tersebut berjalan kaki sembari menenteng sandal ditangan.
Menyusuri sungai, bergegas untuk ke lokasi
Sesampainya di tempat lokasi, badan kami sudah berkeringat dengan celana yang basah. Kami pun mulai berjajar membuat lingkaran. Para tokoh pemuda desa kami mulai mengarahkan anak-anak supaya dengan segera membentuk lingkaran dengan rapi. Terlihat di barisan, generasi anak-anak dari umur SD, SMP, SMA dan para pemuda aceh bersemangat untuk melesatrikan budaya dan tradisi ini.

Beberapa shalawat kami bawakan pada hari itu, kurang lebih 2 jam kami berdzikir shalawat nabi. Menyelami kebudayaan dan tradisi aceh, duduk bersama mereka generasi penerus kebudayaan dalail khairat adalah merupakan pengalaman yang tak akan terlupakan.

Sebaris bersama mereka, cikal bakal pewaris kebudayaan
Setelah selesai, sebelum pulang kami akan diberikan “kena” kalau dalam istilah jawa adalah berkat. Kena adalah baskom plastik yang berisi nasi, kawan nasi/lauk-pauk lengkap dengan buah dan berbagai kue dan minuman. Setiap yang ikut dzikir maulid tadi akan mendapat 2-3 kena tergantung dari banyaknya jumlah kena kenduri yang tersedia. Kena merupakan kenduri dari warga desa. Setiap rumah biasanya disuruh membuat 10-20 buah kena lengkap dengan isinya, atau banyaknya tergantung kesepakatan oleh warga desa.
Kami mendapatkan bagian kena masing masing
Melewati jembatan tua satu-satunya, truk pun hanya bisa sampai diseberang sungai 
Tiga buah kena, tak kuasa tangan membawanya
Satu persatu saling bantu menaiki bak truk
Bisa dibayangkan berapa banyak uang yang disisihkan untuk kenduri maulid saja?itu hanya untuk satu kenduri maulid saja, misal kenduri yang lainnya?. Tapi warga tak pernah berkeluh kesah, karena tradisi seperti itu adalah bentuk kebersyukuran dengan yang Maha Pemberi Rezeki. Inilah Aceh, dengan tradisi dan budaya keislamannya. Setiap daerah pasti memiliki kebudayaan dan tradisinya dan semua itu memiliki ciri khas tersendiri, keberagaman membuat indah dengan saling mewarnai.



22 April 2016

Sabang, Pariwisata Bahari Aceh yang Akan Terkenang

Sabang, tujuan perjalanan selanjutnya setelah menempuh kurang lebih 412 Kilometer dari kabupaten aceh selatan ke ibukota provinsi untuk napak tilas peristiwa tsunami. Ini adalah pengalaman pertama berkendara jauh bersepeda motor selama di Aceh Selatan. Tak terbayangkan sebelumnya bisa sampai ke Aceh, apalagi di sabang, kota yang kita kenal sebagai “Titik Nol” nya Indonesia. Kota yang beribu kilometer jaraknya dari tempat sebenarnya saya berasal.
Dulunya hanya terngiang pada lirik lagu "..Dari sabang sampai Merauke..”, kini akhirnya menginjakkan kaki juga di pulau yang disebut-sebut dalam lagu tersebut. Akhir tahun 2015, tepatnya tanggal 29 Desember 2015 saya berkesempatan untuk mengunjungi pulau terbarat di Indonesia. Dengan menggunakan Kapal Feri bertarif 25 ribu rupiah kita bisa menyebrang dari pelabuhan Ulee Lheue ke Pelabuhan Balohan. Waktu yang ditempuh antar pelabuhan tersebut kurang lebih adalah 2 jam.
Menyebrang ke Sabang lewat Pelabuhan Ulee Lheue
Sabang dengan wisata baharinya, membuat setiap orang pasti ingin untuk mengunjungi. Sebelum sampai ketempat ini, carilah refrensi tempat wisata yang “harus” dikunjungi supaya tidak ada tempat wisata yang terlewatkan. Kalaupun bingung, bisa cari informasi di pelabuhan balohan, nanti akan mendapatkan peta objek wisata. Peta tersebut cukup membantu untuk kita gunakan sebagai guide kita selama berwisata di Sabang.
Peta wisata Sabang yang bisa kita dapatkan di pusat informasi Pelabuhan Balohan
Diatas kapal perjalanan ke Sabang
Sekitar pukul 2 siang kapal berlabuh di pelabuhan Balohan Sabang. Destinasi yang pertama kali saya kunjungi adalah ke Tugu Nol Kilometer. Sengaja mendatangi Tugu Nol Kilometer supaya bisa menikmati sunset di senja hari. Tugu Nol kilo meter yang langsung berhadapan lautan lepas, menjadikan suasana jingga menyala saat senja begitu terasa. Benar saja, saya mendapatkan senja sang surya sempurna terlihat ketika meninggalkan haris horizon samudra. Meski tugu dalam proses pemugaran, tetapi terlihat setiap orang yang telah sampai datang ke tempat itu ingin mengabadikan moment di tugu ujungnya indonesia, saat senja dengan cara setiap individu yang berbeda.
Tugu kilometer nolnya Indonesia
Hari berikutnya, pantai Iboih berpasir putih dengan spot snorkeling favorit adalah tujuan selanjutnya. Letak spot snorkeling adalah di pulau seberang pantai Iboih, yaitu pulau Rubiah.
Pantai Iboih dengan spot snorkeling favorit
Untuk dapat sampai ke pulau seberang, kita menyewa kapal yang dapat di isi sampai dengan 10 orang. Tak perlu bingung, di sekitaran pantai Iboih banyak tersedia persewaan perlengkapan snorkeling, maupun diving. Perlengkapan snorkeling (life jacket, Snorkel dan kacamata, Kaki katak) yang lengkap mulai 80 ribu untuk harga sewa sehari.
Sewa perahu untuk menuju ke spot snorkeling di Pulau Rubiah.
Bersama teman-teman, snorkeling akan terasa menyenangkan
Terumbu karang dan ikan banyak kita jumpai di spot snorkeling pulau Rubiah. Sebagai saran, gunakan guide sebagai pemandu snorkeling. Guide akan mengarahkan kita menunjukkan dimana spot snorkeling yang bagus, akan membantu juga untuk mengabadikan moment anda ketika bersnorkeling.
Spot sepeda motor di bawah laut
Kita akan disambut dengan berjuta keidahan ikan dan terumbu karang
Guide yang membersamai kami saat itu menunjukkan beberapa spot yang ada dipulau rubiah. Dari spot sepeda motor dibawah air, sampai spot menemukan ikan nemo. Hari itu, kami mulai snorkeling dari jam 9 sampai dengan sore sekitar jam 4 sore.
Hay Nemo Sabang !
Seharian bermain air, tapi sepertinya masih kurang untuk mengeksplore keindahan alam bawah laut di pulau Rubiah. Ini adalah keindahan alam bawah laut nyata di ujung indonesia.
Saatnya kembali ke daratan setelah seharian di lautan
Tanggal 31 Desember keesokan harinya, di akhir tahun 2015, tujuan selanjutnya adalah mendatangi tempat wisata yang belum dikunjungi, sembari melanjutkan perjalanan untuk kembali menyebrang ke kota Banda Aceh. Pantai Sumur Tiga, pantai yang juga berpasir putih adalah pantai yang juga favorit untuk dikunjungi. Pantai yang berada dibawah jurang ini mengharuskan kita menuruni anak tangga untuk sampai di bibir pantai.
Pantai Sumur Tiga, Pantai berpasir putih yang akan menjadi primadona
Sabang Marine Festival  ( sumber ; http://disbudpar.acehprov.go.id)
Selanjutnya adalah mengunjungi Benteng Jepang, tempat yang dijadikan markas angkatan laut jepang di tahun 1942. Pada kurun waktu tahun 1942-1945 sabang dijadikan markas angkatan laut jepang guna menghadapi sekutu di samudra hindia. Ditempat itu masih terdapat meriam besi disalah satu bangunannya.
Meriam yang masih tersisa di lokasi Benteng Jepang
Diatas benteng pertahanan jepang, yang langsung menghadap ke lautan
Sebenarnya masih banyak tempat yang belum saya kunjungi pada waktu itu, karena mengejar jadwal keberangkatan kapal dari pelabuhan balohan ke Ulee Lheue akhirnya selesai sudah perjalanan di kota sabang.
Terimakasih Sabang !
Ada banyak hal baru yang bisa dibawa pulang, perjalanan panjang dari kabupaten aceh selatan ke sabang. Ya, pulau ujung Indonesia, akhirnya kaki dan jiwa raga saya sudah pernah menginjakkan di sana. Perjalan ini pun saya abadikan, supaya bisa akan selalu terkenang, menjejakan kaki ke pulau diujung Indonesia

Akan ada banyak cerita yang bisa disampaikan kelak pada keluarga sewaktu pulang ke “pelabuhan terindah”, kota dimana saya sesungguhnya berasal yaitu Yogyakarta. Namun, Sabang kota diujung seberang, semoga tak lekang dan akan selalu terkenang hingga usia mendatang.

Copyright © #ndesolicious | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com